:: As Siyasah As Syar'iyah (1) ::

Ustadz Dzul Akmal, LC

 

“ATURAN UNDANG UNDANG AS SIYASIY AL ISLAMIY AS SYURA (MUSYAWARAH)-AT THO`AH (KETA`ATAN)- AL `ADIL (KEADILAN)- AL HURRIYAH (KEBEBASAN)”

  

Pertama : As Syura (Musyawarah)

 

Musyawarah merupakan aturan yang paling penting dalam Hukum Islam, dia merupakan cara yang terbaik bagi seorang pemimpin dan bawahannya untuk membantu mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan problem yang dihadapi oleh suatu negara, atau terhadap apa apa yang memang ingin dipraktekkan untuk mencapai satu kemashlahatan, seorang wali Al Amri tidak akan lepas dari musyawarah, sementara Allah Ta`ala telah memerintahkan Nabi-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk selalu bermusyawarah sebagaimana dijelaskan dalam Kitab-Nya :

 

(فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم فى الأمر فإذا عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين) آل عمران:(159).

 Artinya : “Mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Ali `Imran (159).

 

Telah diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah Radliallahu `anhu berkata dia :

 

(لم يكن أحد أكثر مشورة لأصحابه من رسول الله صلىالله عليه وسلم)

 Artinya : “Tidak didapati seorangpun yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya selain dari Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam.”

 

Atsar ini diriwayatkan oleh Al Imam At Tirmidzi di Sunannya (4/186), dengan menggunakan shighat At Tamriidl, berkata dia : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, lalu disebutkan atsar ini”, sedangkan dia lemah!! Bersamaan dengan itu Doktor Abu Faris merasa ganjil dengan riwayat ini di dalam kitabnya “An Nizham As Siyasiy fi Al Islam” (91), lalu dia sandarkan ke shohih Al Bukhariy !!

 

Dikatakan : Allah Subhana wa Ta`ala memerintahkan Nabi-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk bermusyawarah ini adalah dalam rangka untuk menyatukan hati hati sahabatnya, untuk mengikuti Sunnahnya setelah dia wafat, untuk mengambil pandangan mereka tentang hal hal yang tidak dijelaskan oleh wahyu Allah Ta`ala seperti urusan peperangan dan urusan urusan yang berhubungan dengan itu dan selainnya, Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam lebih utama dalam mengamalkan musyawarah ini.

 

Allah Ta`ala telah memuji orang orang mukmin yang mengamalkan musyawarah dalam kehidupan mereka seperti perkataan Allah :

 

(والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصلاة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون) الشورى: (38).

 Artinya : “Dan orang orang yang menerima seruan Rabnya dan mendirikan Sholat, sedangkan urusan mereka diputuskan dengan cara musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” As Syura: (38).

Apabila bermusyawarah dengan mereka, lalu dijelaskan kepada mereka tentang kewajiban mengikuti apa apa yang ada di Kitabullah dan Sunnah Rasulullah atau ijma` kaum muslimin, maka tidak ada keta`atan kepada seseorang yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, walaupun ada ikhtilaf dikalangan kaum muslimin tentang hal itu, yang seharusnya ditarik pandangan dari setiap mereka, kemudian dilihat sisi pandangan tersebut, selanjutnya pandangan siapapun yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah harus diamalkan. (As Siyasah As Syar`iyah, oleh Ibnu Taimiyah 133-134).

Berkata Al Imam Al Bukhari (Amiril mukminin) dalam hadist Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam di shohihnya : dalam bab perkataan Allah Ta`ala :

(وأمرهم شورى بينهم) و (وشاورهم فى الأمر)<<Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam betul betul bermusyawarah dengan para sahabatnya pada peperangan Uhud, apakah peperangan ini dilanjutkan atau tidak???, setelah bermusyawarah dengan sahabatnya, lalu diputuskan untuk berangkat berperang, beliau musyawarah dengan `Ali dan Usamah tentang orang orang yang terfitnah dalam peristiwa Al Ifki terhadap `Aisyah Radliallahu `anha dia medengarkan pandangan mereka berdua sampai turun ayat menjelaskan hal tersebut, maka Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam melecut orang orang yang terfitnah dengan tidak melihat kepada perbedaan mereka, akan tetapi beliau memutuskan perkara itu dengan perintah Allah, demikian para pemimpin setelah Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam mereka selalu bermusyawarah dengan orang orang yang terpecaya dikalangan ahli ilmu dalam urusan urusan yang dibolehkan untuk mengambil yang paling mudah untuk diamalkan, namun bila sudah dijelaskan oleh Al Quran dan As Sunnah mereka tidak berpaling kepada yang lainnya, ini dalam rangka mengikuti Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam. Abu Bakar Radliallahu `anhu berpendapat dibunuhnya setiap orang yang melarang zakat, lantas Umar berkata : “Bagaimana engkau membunuh orang orang yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dalam haditsnya :

(أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوا لا إله إلا الله عصموا منى دماءهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم علىالله)

 Artinya : “Saya telah diperintahkan oleh Allah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan “La Ilaha Illallahu”, bila mereka telah mengucapkannya maka terjagalah dari saya darah darah dan harta benda mereka kecuali dengan yang haq, kemudian perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” Abu Bakar berkata : “Demi Allah saya akan memerangi siapapun yang telah merombak apa apa yang sudah dikumpulkan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, kemudian baru `Umar memahaminya (mengikuti), Abu Bakar tidak melihat kepada musyawarah, yang mana disisinya sudah ada keputusan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam tentang orang orang yang membedakan diantara Sholat dan Zakat, dan orang orang ingin menukar Din (Agama) dan Hukum hukum Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Shollallah `alaihi wa Sallam dalam satu hadisnya :

(من بدل دينه فاقتلوه)

Artinya : “Siapapun yang telah menukar Din (Agama)nya maka bunuhlah dia!”, para penghafal Al Quran di zaman `Umar baik yang tua atau yang muda merupakan pendapingnya dalam bermusyawarah, dan `Umar merupakan sahabat yang kuat dalam menjalan Hukum Allah `Azza wa Jal.” (lihat Al Bukhari 13/351), kitab Al `Itishom.

Dikeluarkan oleh Al Imam Al Baihaqiy dengan sanad yang shohih dari jalan Maimun bin Mihran, berkata : “Abu Bakar apabila datang kepadanya satu permasalahan, lalu dia cari solusinya dari Al Quran, jika ada dijelaskan maka dia putuskan dengan-Nya, bila diketahui dari As Sunnah maka dia putuskan dengan Sunnah itu, bila tidak didapatkan juga, maka dia bertanya kepada para sahabat tentang dalil tentang hal itu, namun apabila dia tidak menemukan sama sekali maka dia kumpulkan pembesar pembesar kaum muslimin dan para ulamanya untuk bermusyawarah dengan mereka.” Atsar atsar tentang musyawarah dari `Umar Radliallahu `anhu sangat banyak sekali. lihat Fathul Baari : (13/354), Fathul Qadiir : (1/394).

 

HUKUM AS SYURA (MUSYAWARAH).

Pandangan yang shohih dikalangan Ahli Ilmu tentang musyawarah ini adalah wajib, karena perintah dalam ayat itu menunjukan wajib, tidak ada dalil yang memalingkannya kepada Sunnah atau Istihbab, pandangan inilah yang dipegang oleh para Fuqaha, berkata Ibnu Khuwaiz Mindaad- salah seorang ulama dikalangan madzhab Al Maalikiyah-: “Diwajibkan atas para pemimpin untuk bermusyawarah dengan para `ulama tentang hal hal yang tidak diketahui oleh mereka, dan apa apa yang musykil bagi mereka tentang urusan Din (Agama) ini, mengarahkan bala tentara tentang hal hal berhubungan dengan peperangan, mengarahkan manusia terhadap hal hal yang berhubungan dengan kemashlahatan mereka, mengarahkan para sekretaris negara, menteri negara dan para pekerja terhadap urusan yang berhubungan dengan kemashlahatan negara dan kemakmuranya.” (Tafsir Al Qurthubi :4/250), “meninggalkan musyawarah mendatangkan bahaya dan kerugian terhadap kemashlahatan kaum muslimin.” (At Tahriir wa At Tanwiir :4/184).

 

NIZHAM AS SYURA :

Tidak ada satu dalilpun  dari Al Quran dan As Sunnah yang mewajibkan kepada satu Negara Islam untuk membentuk cara Syura tertentu atau garis undang undang kepada Ahli Syura, sesungguhnya yang demikian berbeda situasi zaman dan tempat, oleh karena itu merupakan suatu Hikmah dimana Syari`at yang mulia ini meninggalkan atau menyerahkan kepada “Wali Al Amri” untuk mengatur undang undang Syura tersebut yang cocok untuk kemashlahatan, yang penting sekali adalah seluruh anggota As Syura tersebut harus dari kaum muslimin yang `adil bukan dari selain mereka,  orang orang yang memang ahli dari berbagai cabang ilmu, orang orang yang memiliki ide ide yang jernih dan ahli dalam masalah As Siyasah As Syar`iyah, jadi tidak mungkin lagi dikatakan bahwa Islam tidak mengatur bentuk satu pemerintahan Islam yang cocok dan sesuai dengan zaman, sedangkan Islam  meletakkan asas asas keadilan yang tidak berbeda diantara satu umat ke umat yang lainnya, bahkan diberikan kesempatan kepada manusia untuk menjalankan dan mengatur asas asas ini yang mereka pandang bisa mewakili untuk tercapainya kemashlahatan dan sesuai dengan situasi dan keadaan mereka. (As Siyasah As Syar`iayah oleh `Abdul Wahab Khalaf : (31), yang penting tidak menyelisihi dalil dalil Syari`at ini.

 

“PERBEDAAN ANTARA AS SYURA (MUSYAWARAH) DAN AD DEMOKRATIAH”

Diantara perkataan perkataan bohong yang harus dijauhi adalah : “Bahwa Demokrasi merupakan satu bentuk praktek dari As Syura Al Islamiyah di zaman modren ini, ini berbeda sekali seperti perbedaan antara bintang dan lampu kendil, diantara dua undang undang ini memiliki perbedaan dan jarak yang sangat besar sekali.

1.                   As Syura (Musyawarah) terikat dengan wahyu Allah Ta`ala, tidak dibenarkan untuk menyelisihi nash nash Al Quran dan As Sunnah, Ijma` Al Ummah, peraturan peraturan Syari`at dan ushul ushulnya yang umum, sedangkan Demokrasi secara mutlak menentang Hukum hukum Allah Yang Maha Besar, suara terbanyak menghalalkan apa apa yang diharamkan oleh Allah seperti Az Zina, segala hal yang menyalahi aturan Allah Subhana wa Ta`ala, membolehkan liwath (laki laki menikahi lelaki), mengharamkan apa apa yang dihalalkan oleh Allah seperti Poligami, bersenang senang dengan yang baik baik dan lain sebagainya.

2.                   Anggota Ahli As Syura terdiri dari kaum muslimin yang adil, ahli ilmu dan orang orang yang memiliki pemikiran pemikiran yang baik serta orang orang yang berpengalaman dan mempunyai keahlian dari berbagai cabang ilmu, sedangkan anggota undang undang Demokrasi diparlemen berkumpul di dalamnya antara yang baik dan yang rusak, orang berilmu dan yang bodoh, bijaksana dan yang jahat, bintang film dan penari, pokok-nya siapa saja yang sanggup memberikan suaranya kepada orang orang yang dicalonkan maka mereka itulah terpilih sebagai pembuat syari`at- yang menghalalkan dan mengharamkan walaupun bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya.

3.                   Di dalam undang undang As Syura tidak dikenal bahwa haq tersebut dimonopoli oleh suara yang terbanyak, seperti diterangkan oleh Allah `Azza wa Jal:

(وإن تطع أكثر من فى الأرض يضلوك عن سبيل الله) الأنعام : (116).

Artinya : “ Dan jika kamu menuruti kebanyakkan orang orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” Al An`am (116), akan tetapi dengan dalil dan keterangan yang benar, hujjah dan bayan, memperhatikan ushul ushul Syari`at ini untuk menghasilkan kemashlahatn ummat, sedangkan berpegang dengan suara yang terbanyak pada undang undang Demokrasi ini merupakan bentuk garis pemisah daripada dalil dalil, hujjah Syari`at ini dan keterangan keterangan yang nyata untuk menyelesaikan kemusykilan dan urusan urusan yang penting.

 
:: Kembali ke Depan :: Ta'zhim As Sunnah - Pekanbaru :: Ke Index Artikel ::