:: As Siyasah As Syar'iyah (4) ::

Ustadz Dzul Akmal, LC

 

RUKUN RUKUN (DASAR DASAR) AD DAULAH (NEGARA) AL ISLAMIYAH

 

Telah sepakat sebahagian besar dari penulis penulis As Siyasah dan undang undang tentang rukun rukun yang sangat mendasar sekali tentang suatu negara adalah : Pemimpin, Undang undang, Ra`yat, dan perbatasan perbatasan teritorial, maka Negara Islam juga dibangun atas empat dasar ini.

Rukun yang pertama : Al Hukum dengan apa apa yang telah diturunkan oleh Allah.

Rukun yang kedua     : Pemimpin.

Rukun yang ketiga      : Ra`yat (bangsa).

Rukun yang keempat  : Tempat atau Daerah.

Kita akan menerangkan keempat Rukun ini secara terperinci :

 

Rukun yang pertama : Al Hukum dengan apa apa yang diturunkan oleh Allah Ta`ala (Al Quran dan As Sunnah).

Yang dimaksud oleh penulis penulis As Siyasah tentang Pemimpin adalah : yang memiliki kekuasaan tertinggi di satu masyarakat atau negara, ini merupakan rukun yang paling utama dalam undang undang politik apapun di dunia ini, adapun dalam undang undang As Siyasiy Al Islamiy maksudnya ialah Al Hukum dengan apa apa yang diturunkan oleh Allah, atau dengan kata lain Hukum itu hanya milik Allah saja- sebagaimana dinamakan oleh sebahagian orang – keterangan secara terperinci dalam masalah ini adalah sebagai berikut :

1.                  Wajib Berhukum dengan apa apa yang diturunkan Allah Ta`ala.

2.                  Berhukum dengan selain hukum Allah.

3.                  Cara/Methode untuk Berhukum dengan Hukum Allah.

 

Pertama: Wajib Berhukum dengan Hukum Allah.

“Sesungguhnya  berhukum kepada Syari`at Allah- `Azza wa `Ala- dan berhukum dengan apa apa yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam, ini merupakan tuntutan dari Peribadatan kepada Allah, persaksian terhadap Risalah NabiNya Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam, bila berpaling dari demikian sedikit saja akan ditimpa dia oleh adzab dan sanksi Allah, urusan ini apakah antara Negara dengan ra`yatnya, atau sangat dianjurkan berpegangnya kelompok Muslimin disetiap tempat dan waktu, apakah dalam situasi ikhtilaf dan pertikaian yang khusus dan umum.” (Wujub Tahkim Syari`at Allah) oleh Mufti Kerajaan As Saudi, Samahatu As Syaikh `Abdul `Aziz ibnu `Abdullah bin Baz rahimahullah Ta`ala.

Dalil dalil dari Al Quran As Sunnah yang menerangkan wajibnya berhukum dengan Hukum Allah `Azza wa Jall dan bertahkim kepadaNya sangat banyak sekali untuk dipaparkan, cukup sedikit saja kami jelaskan di sini karena sangat masyhur sekali dalil dalil itu, sementara orang orang bodoh denan dasar dasar ke Islaman banyak dan masyhur dihadapan kita, oleh karena itu kami akan tampilkan sebahagian dari dalil dalil itu.

فى قوله الله- جل وعز- "وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل" النساء :(58)

Berkata Allah Jalla wa `Azz : “Apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” An Nisa: (58). Berkata Al Imam As Syafi`I-rahimahullah- “Allah Subhana wa Ta`ala telah mengajarkan kepada NabiNya Shollallahu `alaihi wa Sallam bahwasanya diwajibkan atasnya dan atas Nabi nabi sebelum dia dan manusia yang lainnya yaitu apabila mereka memutuskan suatu perkara hendaklah mereka memutuskan dengan adil, dan adil itu ialah mengikuti HukumNya yang telah diturunkan kepada NabiNya Shollallahu `alaihi wa Sallam.” Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala :

"فإن تنازعتم فى شىء فردوه إلى الله والرسول." النساء :(59).

Artinya : “Bila kamu bertikai dalam satu perkara maka kembalikanlah penyelesaiannya kepada Allah dan Ar Rasul.” An Nisa : (59). Berkata Al Imam As Syafi`I; maksudnya mereka dan para pemimpin diperintahkan oleh Allah Ta`ala untuk menta`ati mereka, karena kewajiban itu tidak ada pertikaian dan perselisihan bagi kalian padanya, seperti dijelaskan oleh Allah Ta`ala :

"وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قصى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم". الأحزاب : (36).

Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki laki yang mu`min dan tidak pula bagi perempuan yang mu`min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” Al Ahzab:(36). Barang siapa yang berselisih setelah zaman Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam- hendaklah ia kembalikan penyelesaian urusan itu kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam, lalu kalau tidak terdapat dalil  penyelesaiannya dari pada keduanya atau salah satu diantara dua maka kembalikan solusinya dengan mengkiyaskan salah satu diatara duanya.” (Ahkam Al Quran oleh As Syafi`I: 1/29-30).

Allah Subhana wa Ta`ala berkata :

"وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق." المائدة : (48).

Artinya : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,  membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab kitab yang lain; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa jafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” Al Maidah:(48).

Berkata Al Hafidz Ibnu Katsir : “Hukumlah diantara manusia itu ya Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam- `arab mereka, dan orang `ajam (bukan `arab) mereka, orang yang diberi kitab pada mereka atau orang ahli kitab dengan apa apa yang diturunkan oleh Allah kepada engkau ya Muhammad – Al Kitab Al `Azhim, dan dengan yang sudah ditetapkan bagimu tentang hukum para Nabi sebelummu, dimana hukum itu tidak dihapus oleh syari`atmu.”

Berkata Allah Ta`ala :

"ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون" المائدة : (47).

Artinya : “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang fasik.” Al Maidah : (47). “Maksudnya; barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa apa yang ada di Al Kitab Al `Aziz dan As Sunnah Al Muthahharah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta`ala :

"وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا." الحشر (7).

Artinya : “Apa saja yang dibawa oleh Rasul Shollallahu `alaihi kepadamu maka terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” Al Hasyar: (7). Demikian juga diperjelas oleh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam dalam satu hadistnya :

"ألا إنى أوتيت القرآن ومثله معه."

Artinya : “Ketahuilah sesungguhnya telah diturunkan kepada saya Al Quran dan sepertinya bersamanya (As Sunnah).” Hadist Shohih. Diriwayatkan oleh Ahmad (4/130), Abu Dawud (4604), Ibnu Majah (12), Ad Daruqutniy (4/287), At Thobraniy fi Al Kabir (20/283). …… Mereka itulah orang orang yang keluar dari keta`atan.” Sebagaiman yang dijelaskan oleh Shiddiq hasan Khan. (Iklil Al Karamah fi Tibyan Maqashid Al Imamah: (87).

“Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta`ala- dengan DiriNya Yang Sangat Mulia- kalian tidak akan ber-iman sampai kalian mengatakan; kami betul betul berhukum kepada Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam tentang apa apa yang kami perselisihkan diantara kami, tunduk kepada hukum-Nya, menyerahkan diri secara total kepada hukum itu, tidak akan memberi manfa`at kepada kami hukum selain hukum-Nya, dan tidak akan bisa menyelamatkan kami dari `adzab Allah, tidak akan diterima dari kami jawaban ini bila kami mendengarkan panggilan-Nya –Subhana wa Ta`ala- pada hari kiamat, Allah berkata :

"ماذا أجبتم المرسلين." القصص: (65).

Artinya : “Apa jawaban kalian kepada para Rasul?” Al Qashash: (65). Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta`ala pasti akan menanyakan hal itu pada kita, dan dituntut kita  untuk menjawabnya, seperti kata Allah :

"فلنسألن الذين أرسل إليهم ولنسألن المرسلين." الأعراف: (6).

Artinya : “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat umat yang telah diutus rasul rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai pula rasul rasul Kami.” Al A`raf: (6).

Tidak cukup dengan demikian saja untuk menghasilkan keimanan sampai betul betul hilang rasa sempit dari jiwa jiwa mereka ketika Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam memutuskan perkara, juga mereka redho dan menerimanya secara total, sebagaimana diterangkan oleh Allah Ta`ala :

"فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا فى أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما." النساء : (65).

Artinya : “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” An Nisa : (65).

Dipertegas hal yang demikian dengan ketegasan sebagai berikut :

1.                  Dimulainya kalimat dalam ayat ini dengan sumpah menggunakan huru an Nafyi yang mengandung dalamnya penegasan penafian terhadap seluruh sumpah sumpah selain-Nya, sebagaimana dimulainya kalimat dengan jumlah yang mutsbitah (penetapan) dengan huruf “an.”

2.                    Allah Subhana wa Ta`ala bersumpah dengan diri-Nya sendiri.

3.                   Bahwasanya Allah bersumpah atas diri-Nya sendiri dengan menggunakan shighat (rupa) fi`il yang menunjukan terjadinya, artinya tidak akan bisa mereka menghasilkan iman apapun sampai betul betul mereka menjadikanmu sebagai hakimnya.

4.                  Dalam ayat ini Allah `Azza wa Jall menggunakan kata “hatta” bukan kata “illa,” dimana mengandung pengertian tidak akan didapat keimanan itu kecuali setelah berhukum kepada Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam, karena apa saja setelah kata “hatta” masuk kepada apa apa sebelumnya.

5.                  Kemudian Al Muhkam (yang diperselisihkan) padanya digunakan shighat (rupa) maushul yang menunjukan keumuman, yaitu perkataan Allah :

"فيما شجر بينهم"

      artinya; seluruh apa apa yang mereka perselisihkan baik kecil perselisihan itu atau besar.

6.                  Allah Subhana wa Ta`ala menggabungkan kepada yang diperselisihkan itu penafian (peniadaan) terhadap “al Haraj” (rasa sempit) terhadap keputusan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam.

7.                  Allah Ta`ala menggunakan kata “al Haraj” berbentuk nakirah (umum) ketika peniadaan, artinya tidak didapatkan satu macampun dari bentuk rasa sempit sama sekali.

8.                  Allah `Azza wa Jall menjelaskan tentang hal yang diputuskan Nya dengan bentuk umum, mungkin hal itu mashdariyah (dasarnya), artinya; dari keputusan keputusan-Mu, atau maushulah, artinya; diantara keputusan keputusan-Mu, ini meliputi setiap keputusan dari keputusan-Nya.

9.                  Sesungguhnya Allah Ta`ala tidak mencukupkan demikian saja namun Dia tuntut lagi untuk betul betul mereka menyerahkan diri secara total, dan ukuran tambahan atas “at Tahkim”(berhukum) dan peniadaan terhadap rasa sempit, tidak setiap yang memutuskan ditiadakan darinya rasa sempit, dan tidak setiap yang ditiadakan darinya rasa sempit lalu menyerahkan diri secara total untuk menerimanya, sesungguhnya penyerahan diri termasuk dalam keridhoan untuk menerima segala keputusan-Nya dan tunduk pada-Nya.

10.               Allah mentaukidkan (menegaskan) fi`il “at Taslim”dengan menggunakan “al Mashdar al Muakkad” (kata benda dari fi`il tersebut). (As Showa`iq Al Mursalah: 4/1520-1521), ayat ini ada syarh yang lebih terperinci lagi, lihat kitab “Al Hukum bighairi ma Anzalallahu.”

Kesimpulan dari pembahasan ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah tentang ayat ini : “Sudah diketahui sepakatnya kaum Muslimin bahwa wajib “menjadikan Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam sebagai hakim” dalam segala perselisihan yang terjadi diantara manusia, baik dalam urusan Din (Agama) dan dunia mereka, baik dalam masalah ushul (pokok) Din ini atau cabang cabangnya, diwajibkan atas mereka seluruhnya bila Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam sudah memutuskan sesuatu maka jangan sekali kali merasa sempit hati hati mereka dengan keputusan itu dan harus menyerahkan diri serta menerima hukum itu.” (Majmu` Al Fatawa : 7/37-38, oleh Syaikul Islam).

 
:: Kembali ke Depan :: Ta'zhim As Sunnah - Pekanbaru :: Ke Index Artikel ::